Suku Tengger dan Kebudayaanya

Gunung Bromo merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif dan cukup terkenal sebagai objek wisata di Jawa Timur. Gunung yang mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut ini merupakan salah satu ikon wisata di Jawa Timur yang banyak menarik wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Selain itu, tempat ini begitu terkenal di kalangan turis mancanegara karena keindahan pasir, kaldera, sunrise emasnya serta pemandangan bukit di sekitarnya yang sangat elok. Tetapi sayangnya obyek wisata Gunung Bromo hingga kini terbilang masih relatif kecil untuk menarik wisatawan. Dari kunjungan wisatawan nasional tercatat hanya 7 juta orang per tahun.
Salah satu kekhasan di Gunung Bromo adalah suku Tengger. Suku Tengger merupakan suku asli yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
Kedatangan suku ini diawali dengan masuknya pengaruh Islam di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa. Pada masa itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian suku ini melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu “Teng” akhiran nama Roro An-“teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-“ger”. Suku yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung sebagai tempat mereka menetap. Pada umumnya masyarakat ini hidup sebagai petani di ladang. Beberapa jenis tanaman yang dikembangkan adalah kubis, wortel,tembakau, dan jagung. Jagung merupakan makanan pokok suku ini. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi sebagai pemandu wisata di Bromo. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Bagi suku ini Gunung Bromo dipercaya sebagai gunung suci.
Masyarakat suku Tengger taat terhadap aturan dan agama yang mereka yakini. Mayoritas masyarakat yang menggunakan bahasa Jawi Kuno atau bahasa asli Majapahit ini menganut agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Agama lain juga berkembang di daerah ini seperti agama Islam, Buddha, dan Kristen. Bahasa yang digunakan dalam kitab kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku ini merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasi budaya yang khas.
Dalam masyarakat suku Tengger terdapat cerita legenda yang berkembang luas mengenai Gunung Bromo. Salah satu bagian dari cerita legenda Gunung Bromo, tersebut adalah tepat pada bulan purnama, salah satu anak Joko Seger dan Roro Anteng mengorbankan diri untuk melindungi keluarga dan masyarakat suku tengger . Diantar oleh ayah, ibu, saudara kandung dan masyarakat suku tengger, salah satu anak Joko Seger tersebut menceburkan diri ke kawah Gunung Bromo untuk memenuhi permintaan Dewa. Permintaan terakhir putra Roro Anteng tersebut adalah agar masyarakat tengger memberikan sesajen setiap bulan purnama tanggal 14 atau 15 bulan kasodo.
Sejak saat itu dan menurut kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Suku Tengger, masyarakat suku Tengger selalu melaksanakan upacara Kasodo. Upacara yang dilaksanakan setahun sekali ini bertujuan sebagai persembahan (Sesajen) untuk Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Upacara yang dilaksanakan pada bulan purnama tanggal 14 atau 15 bulan kasodo (kesepuluh) setiap bulan Desember atau Januari ini dilakukan dengan membacakan mantra mantra dan menyiapkan sesajen. Sesajen yang disajikan oleh masyarakat suku tengger berupa hasil pertanian dan kepala kerbau yang akan dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo.
Selain upacara Kasodo, terdapat upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, dan Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Tengger. Masyarakat ini percaya bahwa mantra mantra yang mereka pergunakan adalah mantra mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Tengger terdapat sistem sosial yang berfungsi untuk memberikan aturan dan pengarahan bagi masyarakat Tengger dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Pada kelompok-kelompok desa di masyarakat Tengger terdapat masing-masing kelompok seorang tetua yang merupakan pimpinan di desa tersebut. Setiap desa memiliki pimpinan (petinggi) yaitu seorang kepala adat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tengger lebih menghormati dan percaya kepada dukun. Pengaruh dukun dalam masyarakat Tengger sangat dominan. Dukun adalah pemimpin dalam acara ritual/upacara adat.
Di dalam lingkungan masyarakat Tengger, Dukun merupakan kelompok masyarakat yang menduduki kelas sosial tertinggi. Mereka ini adalah orang-orang yang menguasai adat istiadat kepercayaan yang telah dianut dan diyakini oleh warga masyarakat, sehingga tidak heran apabila setiap tingkah laku Dukun menjadi panutan bagi anggota masyarakat, dengan demikian maka orang-orang yang menjadi suri tauladan masyarakat Tengger adalah para Dukun dan pembantu-pembantunya, sehingga secara struktural Dukun dalam kehidupan masyarakat Tengger tergolong orang-orang terpandang.
Suku ini memiliki kesenian khas, salah satunya adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.
Budaya lain di masyarakat Tengger yang tercipta adalah sikap gotong royong antar masyarakat Tengger. Ada dua bentuk gotong royong yang selalu dilakukan oleh masyarakat Tengger secara bersama-sama yaitu Gotong royong mengenai kerja bakti untuk kepentingan umum seperti membangun jalan kampung dan saluran air. Bentuk gotong royong kedua adalah gotong royong tolong menolong untuk guyuban, nyurung, nyalawat dan kematian.
Bukan hanya kebudayaan yang dilestarikan oleh suku ini, namun kelestarian alam dan lingkungan kawasan Gunung Bromo dijaga untuk kepentingan bersama. Kearifan lokal dalam melestarikan budaya dan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat tengger patut diteladani.